Wednesday, March 18, 2009

Kaum 'Ad : Atlantis di Padang Pasir

Reruntuhan dari kota tersebut karena terkubur dibawah gurun pasair yang sangat dalam.

Dalam Alquran, terdapat sejumlah cerita yang mengisahkan kehancuran beberapa kaum (umat) karena tidak mau beriman kepada Allah. Di antaranya, kaum 'Ad (zaman Nabi Hud), umat Nabi Nuh, Tsamud (di zaman Nabi Saleh), Madyan (Nabi Syu'aib), dan kaum Ibrahim.

Pada kesempatan ini, Republika mencoba menurunkan laporan tentang kehancuran salah satu bangsa itu, yaitu kaum 'Ad serta di manakah dulunya keberadaan kaum (bangsa) tersebut.

Dalam Alquran, dijelaskan bahwa kehancuran kaum Nabi Hud ini disebabkan oleh angin (topan) yang lebat dan berlangsung selama tujuh malam delapan hari (QS Alhaaqqah: 6-8).

Hancurnya kaum yang durhaka kepada Allah SWT dan mendustakan Nabi Hud ini rupanya mengusik perhatian para peneliti untuk menguak kembali keberadaan dan sisa-sisa bangsa 'Ad ini.

Dalam berbagai upaya yang dilakukan, sejumlah peneliti mulai menemukan tanda-tanda sebagian umat terdahulu ini. Tahun 1990, beberapa koran terkemuka di dunia melaporkan temuan salah seorang peneliti yang bernama Nicholas Clapp, seorang arkeolog. Dalam sejumlah media itu, diberitakan keberadaan kaum 'Ad ini dengan headline besar. Seperti dikutip situs www.islamicity.com, berita-berita tersebut di antaranya menulis Fabled Lost Arabian City Found (Kota Legenda Arabia yang Hilang Telah Ditemukan), ada pula yang menuliskan Arabian City of Legend Found (Kota Legenda Arabia Ditemukan), dan The Atlantis of the Sands, Ubar (Ubar, Atlantis di Padang Pasir), dan sebagainya.

Penelitiannya tentang sejarah Arab merujuk pada Alquran dan karya peneliti Inggris yang bernama Bertram Thomas dengan judul Arabia Felix. Arabia Felix adalah sebuah ungkapan yang diberikan penguasa Romawi untuk bagian selatan semenanjung Arabia yang berarti Arabia yang beruntung. Dinamakan demikian karena keberadaan dan letaknya yang sangat strategis telah menjadi perantara dalam perdagangan rempah-rempah antara India dan tempat-tempat di utara semenanjung Arab. Dan, orang-orang yang tinggal di daerah ini mampu memproduksi dan mendistribusikan frankincense (seperti gaharu--Red), sejenis getah wangi dari pohon yang sangat langka. Tanaman tersebut digunakan sebagai dupa dalam berbagai ritus keagamaan. Dan, harga tanaman ini pada saat itu sebanding dengan emas.

Dari ayat Alquran dan buku karangan Thomas ini, Nicholas Clapp menelusuri jejak sebuah kota kuno di bagian selatan semenanjung Arabia (termasuk Yaman dan Oman) bernama Ubar yang disebutkan dalam dongeng Suku Badui.

Dalam Alquran, kejadian atau peristiwa yang menghancurkan kaum 'Ad ini terjadi di Iram, salah satu kota di semenanjung Arabia. Setelah lokasi kota legendaris yang menjadi subjek cerita dongeng Suku Badui ini diketemukan, penggalian dilakukan untuk mengangkat peninggalan dari sebuah kota yang berada di bawah gurun pasir. Dari sini, kemudian ditemukan sejumlah bekas reruntuhan yang diyakini merupakan pilar-pilar dari bangunan menara yang dahulunya dimiliki kaum 'Ad dan Iram sebagaimana disebutkan dalam surat Alfajr ayat 6-8.

''Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lainnya.'' (QS Alfajr: 6-8).

Berdasarkan keterangan dan data-data empirik tersebut, Clapp mencoba dua jalan untuk membuktikan keberadaan Ubar. Pertama, ia menemukan bahwa jalan-jalan yang dikatakan oleh Suku Badui benar-benar ada. Ia meminta kepada NASA (Badan Luar Angkasa Nasional Amerika Serikat) untuk menyediakan foto atau citra satelit dari daerah tersebut. Setelah melalui perjuangan yang panjang, ia pun berhasil membujuk pihak yang berwenang untuk memotret daerah tersebut.

Selanjutnya, Clapp mempelajari naskah dan peta-peta kuno di Perpustakan Huntington di California untuk menemukan peta dari daerah tersebut. Ia berhasil menemukan sebuah peta yang digambar oleh Ptolomeus, seorang ahli geografi Yunani Mesir dari tahun 200 M. Dalam peta ini, ditunjukkan letak dari kota tua yang ditemukan di daerah tersebut dan jalan-jalan yang menuju kota tersebut.

Bahkan, hasil foto satelit NASA ditunjukkan adanya jejak kafilah yang tidak mungkin dikenali dengan mata telanjang. Setelah membandingkan gambar dari satelit dengan peta tua, akhirnya Clapp berkesimpulan bahwa jejak-jejak dalam peta tua berhubungan erat dengan gambar satelit. Lalu, ia mencari jejak peninggalan sejarah yang ada di daerah itu, yaitu sebuah kota sebagaimana dongeng Suku Badui.

Dari penelitian yang dilakukan Clapp dan gambar-gambar satelit, akhirnya ia berkesimpulan bahwa Ubar adalah kota tempat kaum 'Ad bermukim. Apalagi, setelah dilakukan penggalian, kota itu tampak berada di bawah pasir sedalam 12 meter. Yang lebih mengesankan lagi bagi Clapp, sisa-sisa peninggalan kaum 'Ad ini berupa pilar-pilar bangunan yang tinggi, sebagaimana diisyaratkan Alquran.

Dr Zarins, seorang anggota tim penelitian yang memimpin penggalian, mengatakan bahwa selama menara-menara itu dianggap sebagai unsur yang menunjukkan kekhasan Kota Ubar dan selama Iram disebutkan mempunyai menara-menara atau tiang-tiang, maka sejauh ini hal itu merupakan bukti terkuat bahwa peninggalan sejarah yang mereka gali adalah Iram, kota kaum 'Ad yang disebut dalam Alquran. sya/dia/berbagai sumber


Peradaban Modern Kaum 'Ad

Salah satu jejak ditemukannya keberadaan peninggalan kaum 'Ad adalah pilar-pilar bangunan yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, umat manusia, khususnya kaum 'Ad, sudah berperadaban sangat maju. Ini dibuktikan dengan pendirian bangunan yang menggunakan pilar sangat tinggi.

Banyak perdebatan mengenai ciri-ciri dari kaum 'Ad yang membangun kota Iram (Ubar) sebagai kemajuan peradaban mereka. Bahkan, tidak ada bukti sejarah ataupun arsip peradaban lama yang menunjukkan hal itu. Namun, Alquran telah mengatakan hal ini pada 14 abad yang silam.

Menurut sebuah sumber, tidak adanya catatan sejarah mengenai peradaban bangsa ini disebabkan kaum yang berdiam di Arabia Selatan (Yaman) ini selalu menjaga jarak dengan masyarakat lain yang hidup di Mesopotamia dan Timur Tengah.

Dalam Alquran, umat Nabi Hud ini dikenal sebagai umat yang sombong. Mereka juga tidak percaya dengan kenabian Hud. Mereka menyombongkan diri sebagai kaum yang kuat, tinggi besar perawakan tubuhnya (QS 41: 15), mendiami bangunan tinggi, istana-istana dan benteng yang dibangun di atas perbukitan (QS 26: 128-129), suka menyiksa dengan kejam (QS 26: 130), mempunyai banyak keturunan, hewan ternak, kebun, dan mata air (QS 26: 133-134).

Kaum 'Ad diperkirakan hidup antara abad ke-20 sebelum masehi (SM). Alquran menyebutkan, kaum ini ada sesudah kaum Luth dan Tsamud. Kaum Luth semasa dengan Ibrahim sekitar abad 17-18 SM. Sedangkan, kaum Tsamud sekitar abad ke-8 SM. Mereka ('Ad) diperkirakan hidup pada tahun 2000 SM. Namun, ada pula yang menyatakan abad ke-23 SM, 13 SM, dan sebelum masa Nabi Musa. sya/berbagai sumber


Orang Hadramaut Diperkirakan Keturunan Kaum 'Ad

Orang Hadramaut (Yaman) diduga merupakan anak cucu dan keturunan dari kaum 'Ad. Dugaan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan secara mendalam mengenai peradaban yang didirikan kaum 'Ad di Ubar, Yaman Selatan.

Harun Yahya dalam situsnya tentang bangsa-bangsa yang musnah menyebutkan, di Yaman Selatan, terdapat empat kaum yang hidup sebelum saat ini. Keempat kaum itu adalah Hadramaut, Sabaean (Saba), Minaean, dan Qatabaean. Keempat kaum ini, dalam waktu yang singkat, berada dalam satu pemerintahan dan dalam suatu daerah yang saling berdekatan.

Banyak ilmuwan kontemporer mengatakan bahwa kaum 'Ad telah memasuki satu periode transformasi dan kemudian muncul kembali ke dalam panggung sejarah. Dr Mikhail H Rahman, seorang peneliti dari University of Ohio, merasa yakin bahwa kaum 'Ad adalah nenek moyang dari Hadramaut, Saba, dan empat kaum yang pernah hidup di Yaman Selatan.

Seorang penulis Yunani bernama Pliny menghubungkan suku ini sebagai "Adramitai" yang berarti Hadrami. Akhiran dalam bahasa Yunani adalah suffiks-kata benda, kata benda "adram" mungkin merupakan perubahan dari kata "ad-i ram" sebagaimana disebutkan dalam Alquran.

Ptolomeus, seorang ahli geografi YunanI (150-100 SM), menunjukkan bahwa di sebelah selatan Semenanjung Arabia adalah tempat di mana kaum yang disebut "Adramitai" pernah hidup. Daerah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Hadramaut. Ibu kota negara Hadrami, Shabwah, terletak di sebelah barat Lembah Hadramaut. Berdasarkan berbagai legenda tua, disebutkan bahwa makam Nabi Hud yang diutus sebagai nabi oleh kaum 'Ad terletak di Hadramaut.

Faktor lain yang cenderung membenarkan pemikiran bahwa Hadramaut adalah penerus dari kaum 'Ad adalah kekayaan mereka. Bangsa Yunani menegaskan bahwa Hadramites (orang Hadramaut) sebagai "suku bangsa yang terkaya di dunia". Catatan sejarah mengatakan bahwa Hadramites sangat maju dalam pertanian wewangian, salah satu yang paling berharga pada waktu itu. Mereka telah membangun daerah-daeah baru yang digunakan untuk menanam dan memperluas penggunaannya. Hasil pertanian dari Hadramites lebih banyak daripada produksi wewangian tersebut di masa kini.

Apa yang telah ditemukan dalam penggalian yang dilakukan di Shabwah yang dahulunya dikenal sebagai ibu kota Hadramite sangatlah menarik. Dalam penggalian yang dimulai pada tahun 1975, sangatlah sulit bagi para ahli arkeologi untuk mencapai sisa-sisa/reruntuhan dari kota tersebut karena terkubur di bawah gurun pasir yang sangat dalam. Temuan yang dihasilkan itu diakhiri penggalian yang sangatlah menakjubkan. Kota tua yang digali adalah salah satu temuan terbesar dan menarik yang ditemukan saat ini. Kota yang dikelilingi oleh tembok dinyatakan lebih luas daripada berbagai situs kuno lainnya di Yaman dan istananya dikenal sebagai bangunan yang sangat menakjubkan. sya/harunyahya.com

Theories About Atlantis

Theories About Atlantis

PLATO

It was for Greek philosopher to bring to the world the story of the lost continent of Atlantis.

His story began to unfold for him around 355 B.C. He wrote about this land called Atlantis in two of his dialogues, Timaeus and Critias, around 370 B.C. Plato said that the continent lay in the Atlantic Ocean near the Straits of Gibraltar until its destruction 10,000 years previous.

The Capitol of Atlantis

Plato described Atlantis as alternating rings of sea and land, with a palace in the center 'bull's eye'.

Plato used a series of dialogues to express his ideas. In this type of writing, the author's thoughts are explored in a series of arguments and debates between various characters in the story.

A character named Kritias tells an account of Atlantis that has been in his family for generations. According the character the story was originally told to his ancestor Solon, by a priest during Solon's visit to Egypt.

According to the dialogues, there had been a powerful empire located to the west of the "Pillars of Hercules" (what we now call the Straight of Gibraltar) on an island in the Atlantic Ocean. The nation there had been established by Poseidon, the God of the Sea. Poseidon fathered five sets of twins on the island. The firstborn, Atlas, had the continent and the surrounding ocean named for him. Poseidon divided the land into ten sections, each to be ruled by a son, or his heirs.

The capital city of Atlantis was a marvel of architecture and engineering. The city was composed of a series of concentric walls and canals. At the very center was a hill, and on top of the hill a temple to Poseidon. Inside was a gold statue of the God of the Sea showing him driving six winged horses.

About 9000 years before the time of Plato, after the people of Atlantis became corrupt and greedy, the Gods decided to destroy them. A violent earthquake shook the land, giant waves rolled over the shores, and the island sank into the sea never to be seen again.

At numerous points in the dialogues Plato's characters refer to the story of Atlantis as "genuine history" and it being within "the realm of fact." Plato also seems to put into the story a lot of detail about Atlantis that would be unnecessary if he had intended to use it only as a literary device.

In "Timaeus," Plato described Atlantis as a prosperous nation out to expand its domain: "Now in this island of Atlantis there was a great and wonderful empire which had rule over the whole island and several others, and over parts of the continent," he wrote, "and, furthermore, the men of Atlantis had subjected the parts of Libya within the columns of Heracles as far as Egypt, and of Europe as far as Tyrrhenia."

Plato goes on to tell how the Atlanteans made a grave mistake by seeking to conquer Greece. They could not withstand the Greeks' military might, and following their defeat, a natural disaster sealed their fate. "Timaeus" continues: "But afterwards there occurred violent earthquakes and floods; and in a single day and night of misfortune all your warlike men in a body sank into the earth, and the island of Atlantis in like manner disappeared in the depths of the sea."Interestingly, Plato tells a more metaphysical version of the Atlantis story in "Critias." There he describes the lost continent as the kingdom of Poseidon, the god of the sea. This Atlantis was a noble, sophisticated society that reigned in peace for centuries, until its people became complacent and greedy. Angered by their fall from grace, Zeus chose to punish them by destroying Atlantis.By Plato's account, Poseidon, god of the sea, sired five pairs of male twins with mortal women. Poseidon appointed the eldest of these sons, Atlas the Titan, ruler of his beautiful island domain. Atlas became the personification of the mountains or pillars that held up the sky. Plato described Atlantis as a vast island-continent west of the Mediterranean, surrounded by the Atlantic Ocean. The Greek word Atlantis means the island of Atlas, just as the word Atlantic means the ocean of Atlas.

Atlas

By Egyptian record, Keftiu was destroyed by the seas in an apocalypse. It seems likely Solon carried legends of Keftiu to Greece, where he passed it to his son and grandson.

Plato recorded and embellished the story from Solon's grandson Critias the Younger. As in many ancient writings, history and myth were indistinguishably intermixed. Plato probably translated "the land of the pillars which held the sky" (Keftiu) into the land of the titan Atlas (who held the sky). Comparison of ancient Egyptian records of Keftiu identifies a number of similarities to Plato's Atlantis. It seems likely that Plato's Atlantis was a retelling (and renaming) of Egypt's Keftiu.

When Plato identified the location of the land he named Atlantis, he placed it to the west-in the Atlantic Ocean. In reality, Egyptian legend placed Keftiu west of Egypt, not necessarily west of the Mediterranean. In describing Atlantis as an island (or continent) in the Atlantic Ocean, we suspect Plato was merely wrong in his interpretation of the Egyptian legend he was retelling.

Yet Plato preserved enough detail about the land of Atlantis that its identification now seems very likely, and rather less mysterious than many new-age advocates would like. It is likely that Atlantis was the land of the Minoan culture, namely ancient Crete and Thera. If this hypothesis is correct, Plato never realized that the land of Atlantis was already familiar to him. Let's have a look at the evidence which suggests that Minoan Crete and surrounding islands bear a striking resemblance to what Plato described as Atlantis.

Archaeological records show that the Minoan culture spread its dominion throughout the nearby islands of the Aegean, very roughly from 3000 years BC to about 1400 years BC. Crete, now part of Greece, was the capital for the Minoan people an advanced civilization with language, commercial shipping, complex architecture, ritual and games.

It seems very likely that related islands (e.g. Santorini/Thera) may have been part of the same culture. The Minoans were peaceful: very little evidence of military activity was found in their ruins. A 4-storied palace at Knossos, Crete, was said to be the capitol of the Minoan culture. Correspondence of Minoan cultural artifacts with aspects of the Atlantis legend make the identity of the two seem virtually certain. Perhaps the most unusual of these is the Minoan bull fighting.

By Egyptian legend, the inhabitants of Keftiu would engage in ritualistic bull fighting, with unarmed Minoan bullfighters wrestling and jumping over uninjured bulls.

misteri tentang alien dan borobudur serta piramida

Banyak orang telah mengenal piramida. Piramida adalah bangunan modern pada masa purba yang terdapat di Mesir. Bangunan ini disusun bertingkat, makin ke atas makin kecil. Piramida terdiri atas ribuan bongkahan batu. Tiap batu mempunyai berat sekitar dua ton. Diperkirakan berat sebuah piramida mencapai jutaan ton. Bila dideretkan maka panjang batu pada piramida Cheops, piramida terbesar di Mesir, melebihi panjang pantai Amerika dari utara ke selatan.

Oleh Djulianto Susantio

Bagaimana membuat piramida, berapa lama waktu untuk menyelesaikannya, dan berapa banyak orang yang mengerjakannya? Sejak lama para pakar masih belum bisa memberikan jawaban memuaskan. Hanya sebagian misteri yang berhasil diungkapkan, antara lain oleh arkeolog Inggris Howard Carter terhadap makam Tutankhamen di dalam sebuah piramida.
Carter dan tim ekspedisinya menemukan terowongan berikut tangga yang tersusun rapi dan sejumlah catatan tertulis. Di dalam terowongan itu terdapat makam raja dan keluarganya yang mayatnya sudah diawetkan (mumi). Perhiasan emas, prasasti yang berisi kutukan, dan gambar dinding. Perlu waktu puluhan tahun untuk melakukan ekskavasi di sini.

Eksperimen
Banyak pakar menduga piramida dibangun dari bagian bawah terus ke atas. Tangga naik, untuk meletakkan batu-batu di atasnya, menggunakan punggung bukit. Setelah bagian tertinggi rampung, maka bukit tersebut dipangkas habis. Dengan demikian yang tersisa hanyalah piramida.

Yang masih sukar diperkirakan adalah bagaimana membawa batu seberat dua ton ke atas. Kalau dengan kerekan, berapa besar kerekannya? Kalau dengan batang pohon, bagaimana menggelindingkan batu yang demikian berat itu? Masalahnya, salah perhitungan sedikit saja, nyawa terancam melayang. lni karena bentuk piramida Mesir sangat landai, tidak berundak sebagaimana piramida Amerika Selatan.
Ditafsirkan, piramida dikerjakan selama berpuluh-puluh tahun. Bahan bangunan kemungkinan besar berasal dari sepanjang sungai Nil dan daerah-daerah di sekitar tempat piramida berdiri.

Beberapa tahun lalu pakar-pakar Jepang, Prancis, dan negara-negara maju pemah melakukan eksperimen untuk membuat piramida tiruan. Mereka menggunakan alat-alat berat dan alat-alat modern, termasuk helikopter sebagai alat pengangkut batu.
Pada tahap pertama. mereka mengawalinya dari bagian bawah. Ternyata pembangunan piramida tidak rampung. Begitu pula ketika dimulai dari bagian atas.
Mengapa teknologi masa kini tidak mampu menyaingi teknologi purba? Benarkah pekerja-pekerja Mesir dulu dibantu tenaga gaib para jin dan dewa sehingga berhasil mendirikan bangunan supermonumental itu?

Piramida Mesir tidak dibuat sembarangan. Ada kaidah-kaidah tertentu yang harus ditaati. Pada bagian atas piramida terdapat sebuah lubang. Lubang ini menghadap ke arah matahari terbit. Hal ini tentu dimaklumi karena bangsa Mesir purba menganggap dewa Ra (Matahari) sebagai dewa tertinggi. Uniknya, bila bentuk piramida direbahkan ke atas tanah, maka sudut-sudutnya tepat berada di garis lingkaran. Dengan adanya bentuk demikian disimpulkan bahwa pembangunan piramida direncanakan dengan teliti. Apalagi
bayangan matahari pada piramida tadi menunjukkan musim-musim yang ada di tanah Mesir.
Menurut sejumlah ahli Egyptotogi (pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Mesir), makna simbolis pada piramida begitu besar. Tulisan-tulisan hieroglif menyiratkan ada unsur magis pada bangunan itu.

Candi Borobudur
Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan khayalan ilmiah terhadap Candi Borobudur. Didukung penelitian geologi, Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi Borobudur bukannya dimaksud sebagai bangunan stupa melainkan sebagai bunga teratai yang mengapung di atas danau. Danau yang sekarang sudah kering sama sekali, dulu meliputi sebagian dari daerah dataran Kedu yang terhampar di sekitar bukit Borobudur. Foto udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau yang amat luas di sekeliling Candi Borobudur.

Menurut kitab-kitab kuno, sebuah candi didirikan di sekitar tempat bercengkeramanya para dewa. Puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan gunung berapi, dataran tinggi, tepian sungai dan danau, dan pertemuan dua sungai dianggap menjadi lokasi yang baik untuk pendirian sebuah candi.

Candi Borobudur didirikan dekat pertemuan Sungai Eto dan Progo di dataran Kedu. Tanpa bantuan peta sulit bagi kita sekarang untuk mengenali kedua sungai itu. Untuk menentukan lokasi candi mutlak diperlukan pengetahuan geografi dan topografi yang benar-benar handal. Sungguh mengagumkan nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan seperti itu.

Bangunan Candi Borobudur dianggap benar-benar luar biasa. Bahan dasarnya adalah batuan yang mencapai ribuan meter kubik jumlahnya. Sebuah batu beratnya ratusan kilogram. Hebatnya, untuk merekatkan batu tidak digunakan semen. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni batu atas-bawah, kiri-kanan, dan belakang-depan.

Yang mengagumkan, bila dilihat dari udara, maka bentuk Candi Borobudur dan arca-arcanya relatif simetris. Kehebatan lain, di dekat Candi Borobudur terdapat Candi Mendut dan Candi Pawon. Ternyata Borobudur, Mendut, dan Pawon jika ditarik garis khayat, berada dalam satu garis lurus. Maka kemudian orang mereka-reka bahwa pembangunan Candi Borobudur juga dibantu para jin, dewa, dan ”orang pintar” lainnya.

Angkasa Luar
Tahun 1970-an muncul Erich von Daniken, seorang pengarang fiksi ilmiah (science fiction), yang bukunya sangat populer. Beberapa karyanya seperti Kereta Perang Para Dewa, Kembalinya Bintang-Bintang, Emas Para Dewa, Mencari Dewa-Dewa Kuno, dan Mukjizat Para Dewa berhasil membius jutaan pembacanya dengan khayalan yang sulit dipercaya namun dapat juga dicerna akal sehat.

Di dataran tinggi Nazca (Peru), demikian awal kisah, terdapat sebuah lajur tanah rata yang panjangnya lebih dari 50 kilometer. Para arkeolog menafsirkannya sebagai ”jalan raya bikinan bangsa Inca”. Namun von Daniken menganggapnya sebagai ”landasan bandar udara untuk melayani penerbangan antarbintang”, apalagi dia berhasil mengaitkannya dengan sejumlah temuan arkeologi.

Dengan imajinasinya von Daniken mengatakan pasti ada planet lain yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia. Penghuni planet itu adalah makhluk-makhluk yang kecerdasan otak dan peradabannya melebihi manusia biasa. Berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu makhluk-makhluk ini berkunjung ke bumi mengendarai wahana antariksa yang dapat mengarung angkasa dengan kecepatan supertinggi. Ternyata khayalan von Daniken didukung oleh berbagai tinggalan arkeologi.

Pada sebuah peta dari Istana Topkapi di Turki, tergambar benua Amerika dan Afrika dengan di bawahnya daratan Antartika di kutub selatan. Penggambaran peta demikian hanya mungkin dilakukan melalui pemotretan dari jarak jauh di angkasa. Bila dicermati peta kuno itu sama benar dengan peta bikinan Angkatan Udara AS hasil proyeksi sama jarak dari titik tolak di Mesir.

Di Val Camonica (Italia) dan di Tassili (Gurun Sahara) terdapat lukisan dinding yang menggambarkan orang berpakaian seperti astronot zaman sekarang, lengkap dengan baju tebal dan helm. Bahkan helmnya menutupi seluruh kepala dan dilengkapi antena. Kalau begitu benarkah dulu pemah terjadi penerbangan angkasa luar yang dilakukan makhluk dari planet lain ke bumi?

Dalam perkembangannya makhluk dari angkasa luar itu berubah wujud menjadi tokoh dewa, sering dipuja masyarakat purba. Adanya dewa tergambar jelas dari mitologi dan berbagai kitab keagamaan di pusat-pusat kebudayaan kuno, seperti di Maya, Inca, Mesopotamia, India, Mesir, Yunani, Romawi, dan Indonesia. Dalam mitologi dan kitab keagamaan digambarkan para dewa bersemayam jauh di atas sana dan sewaktu-waktu dapat berkunjung ke bumi, baik dengan terbang secara langsung maupun menggunakan wahana antariksa.

Sampai kini kita belum dapat memberikan jawaban yang pasti apakah pembangunan piramida dan Candi Borobudur memang benar-benar dibantu makhluk dari angkasa luar ataukah keterampilan bangsa sekarang masih minim. Teori siapakah yang harus kita Justify Fullikuti, teori von Daniken yang imajinatif dan bobot ilmiahnya kurang meyakinkan ataukah teori para arkeolog yang saintifik? Sayang teori yang saintifik itu masih misteri seperti halnya misteri yang masih menyelimuti piramida dan Candi Borobudur.

Temuan Fosil Goncang Teori Evolusi

TEMPO Interaktif, Nairobi:

Penemuan dua fosil tengkorak manusia purba di Kenya telah menggoyahkan teori evolusi yang diakui secara luas. Penemuan itu menyatakan dua spesies manusia purba ternyata hidup berdampingan di satu tempat selama hampir setengah juta tahun.

Teori evolusi sebelumnya menyatakan, hominid Homo habilis telah berevolusi menjadi Homo erectus sebelum berevolusi lagi menjadi Homo sapiens seperti kita ini. Tapi fosil di Kenya tak menyatakan demikian.

Seperti dipaparkan di jurnal Nature edisi akhir pekan lalu, sebuah tim internasional telah menggali dua fosil hominid dari Turkana di Kenya. Keduanya adalah pecahan tulang rahang atas dan sebuah tengkorak utuh.

Tulang rahang adalah milik Homo habilis berdasarkan karakter giginya. Usianya sekitar 1,44 juta tahun. Adapun tulang tengkorak adalah milik Homo erectus yang diperkirakan berasal dari masa 1,55 juta tahun silam.

Berdasarkan usia fosil tersebut, para penemunya menyimpulkan, keduanya pernah hidup berdampingan di tempat di mana mereka tergali. Susan Anton, profesor antropologi di Universitas New York dan anggota tim itu mengatakan, "Adanya eksistensi dua spesies mengindikasikan bahwa mereka adalah sister species, berbeda dengan pandangan bahwa homo habilus adalah ibu bagi homo erectus."

Ahli geologi dari Universitas Nasional Australia, Ian MacDougall, yang ikut menggali di Formasi Koobi Fora di Kenya itu mengatakan, pekerjaan mereka telah dihujani begitu banyak pertanyaan. "Itu mengindikasikan bahwa dua spesies hidup di area yang sama tapi mesti memiliki relung ekologi yang berbeda," katanya.

MacDougall mengatakan, kedua spesies tak bersaing serius meskipun salah satunya barangkali lebih mendominasi dan akhirnya menyapu spesies yang kurang adaptif. Dia menilai sejarah mungkin harus ditulis ulang. "Saya tidak berpikir bahwa itu membuat model linier dari Homo erectus ke homo sapiens menjadi dipertanyakan, tapi siapa yang tahu apa yang terjadi besok?"

Colin Groves, profesor antropologi biologi dari Universitas Nasional Australia sudah lama mengatakan bahwa model evolusi linier itu jauh dari sederhana. Dia pun menyambut hasil studi itu. "Ide bahwa evolusi manusia adalah sebuah tangga berjenjang, saya pikir tidak mungkin dipertahankan lagi," katanya.

Namun masih ada perdebatan. Para peneliti mengatakan bahwa itu mengindikasikan bahwa homo erectus dan homo habilis adalah keturunan spesies yang lain. Namun ahli lain berpendapat bahwa penelitian itu hanya menunjukkan bahwa leluhur bisa bertahan hidup selama waktu yang panjang bersama dengan keturunannya.

DEDDY SINAGA | ABCNEWS | BBC

Nasib Teori Evolusi

Malang nasib Charles Darwin. Di hari ulang tahunnya, selain pohon evolusinya tumbang, separuh warga Inggris tak lagi percaya teorinya

Hidayatullah.com – Meski hingar-bingar perayaan Hari Darwin 2009 disemarakkan para pendukung teori evolusi, namun mereka tidak bisa menutupi kenyataan bahwa teori evolusi semakin terpuruk. Di detik-detik menjelang peringatan yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2009 itu, majalah iptek Inggris pro-evolusi New Scientist mengumumkan tercabutnya“tree of life”, alias tumbangnya pohon silsilah evolusi kehidupan rekaan Darwin.

“Kado” kedua di hari ulang tahun Darwin adalah hasil temuan ComRes, perusahaan konsultan ternama di bidang jajak pendapat dan penelitian. Sebagaimana diberitakan Telegraph, 6 Februari 2009, dari jajak pendapat itu terungkap bahwa lebih dari separuh warga Inggris percaya bahwa teori evolusi tidak dapat menjelaskan kerumitan makhluk hidup di Bumi dan bahwa suatu “perancang atau pencipta” pastilah terlibat.

Pohon evolusi yang keliru dan menyesatkan

Pohon silsilah evolusi makhluk hidup buatan Charles Darwin, yang memperlihatkan bagaimana jenis-jenis makhluk hidup berkerabat satu sama lain, ternyata “salah” dan “menyesatkan”, kata para ilmuwan. Pernyataan ini ditulis apa adanya dalam kolom iptek harian Inggris, Telegraph, 22 Januari 2009 dengan judul “Charles Darwin's tree of life is 'wrong and misleading', claim scientists”.

Para ilmuwan evolusionis sendiri bahkan yakin bahwa buah pikir Darwin itu telah menyesatkan masyarakat. Ini dikarenakan teorinya Darwin tentang pohon silsilah evolusi kehidupan itu membatasi bahkan mengaburkan penelitian tentang makhluk-makhluk hidup dan nenek moyang mereka.

New Scientist, 21 Januari 2009, menjelaskan bahasan tersebut panjang lebar dengan judul yang terang-terangan menyatakan kekeliruan pohonnya Darwin itu: “Why Darwin was wrong about the tree of life” (Mengapa Darwin salah mengenai pohon kehidupan). New Scientist menuturkan, Darwin pertama kali memunculkan gagasan tentang pohon silsilah evolusi kehidupan di tahun 1837, sekitar 22 tahun sebelum terbit buku kondangnya, the Origin of Species.

Menurut W. Ford Doolittle, biologiwan asal Dalhousie University, Kanada, gambar pohon silsilah evolusi itu merupakan bagian inti terpenting dan terutama bagi pemikiran Darwin. Pohon ini sama pentingnya dengan seleksi alam. Tanpanya, teori evolusi tidak akan pernah muncul. Darwin menjelaskan bahwa pohon silsilah evolusi itu adalah fakta di alam. Untuk menjelaskan fakta pohon silsilah evousi itu, Darwin pun memunculkan gagasan tentang “natural selection”, seleksi alam.

Pohon silsilah evolusi makhluk hidup rekaan Darwin itu bermakna bahwa seluruh makhluk hidup memiliki satu nenek moyang tunggal yang sama, yang digambarkan sebagai bagian pangkal pohon paling bawah dari pohon itu. Dari pangkal pohon ini tumbuhlah batang utama pohon tersebut, yang semakin lama semakin tumbuh ke atas dan semakin mengalami percabangan ganda di bagian ujung-ujungnya. Setiap cabang mewakili satu spesies makhluk hidup, sedangkan titik percabangan pohon itu adalah tempat di mana satu spesies berevolusi menjadi dua spesies.

Sebagian besar cabang atau ranting pohon silsilah kehidupan itu akhirnya berhenti tumbuh, yang melambangkan spesies tersebut mengalami kepunahan. Namun sebagian ranting lainnya tumbuh hingga ke puncak, ini adalah spesies-spesies yang masih bertahan hidup. Dengan demikian keseluruhan gambaran pohon silsilah kehidupan ini diyakini sebagai fakta bahwa seluruh jenis makhluk hidup yang pernah ada di alam adalah berkerabat dan berasal mula dari satu nenek moyang tunggal yang sama, melalui proses evolusi.

Karena keterbelakangan iptek

Pohon silsilah evolusi kehidupan khayalan Darwin itu dibuat di masa ilmu pengetahuan (iptek) sangatlah terbelakang. Di masa itu belumlah ada mikroskop elektron dan seluk beluk rumit sel seperti kromosom, DNA, RNA, struktur protein tidaklah diketahui Darwin. Tanpa pengetahuan iptek di bidang biologi sel dan biologi molekuler ini wajarlah jika perumpamaan Darwin mengenai pohon evolusi lebih banyak didasarkan pada rekaan atau “believe” (meyakini) tanpa bukti, sebagaimana ia akui sendiri dalam tulisannya:

The affinities of all the beings of the same class have sometimes been represented by a great tree. I believe this simile largely speaks the truth.

[Kekerabatan seluruh makhluk hidup dari kelas yang sama adakalanya diumpamakan sebagai sebuah pohon besar. Saya yakin perumpamaan ini sebagian besar menyatakan kebenaran]. (Charles Darwin,(1872), pp. 170-171. The Origin of Species. Sixth Edition. The Modern Library, New York.)

Demikianlah, meskipun pohon silsilah evolusi ini hanyalah rekaan Darwin yang didasarkan pada kepercayaan tanpa bukti, namun para ilmuwan evolusionis sepeninggal Darwin meyakininya sepenuh hati. Karena diyakini buta secara dogmatis dan dijadikan sebagai landasan kebenaran ilmiah, selama sekitar 150 tahun terakhir para ilmuwan itu berlomba-lomba mencocok-cocokkan temuan ilmiah mereka dan berupaya melengkapi secara rinci pohon silsilah evolusi itu.

Semakin terbuktikah kebenaran pohon silsilah khayalan Darwin itu? Majalah pro-evolusi New Scientist itu memberikan jawabannya:

For much of the past 150 years, biology has largely concerned itself with filling in the details of the tree.... A few years ago it looked as though the grail was within reach. But today the project lies in tatters, torn to pieces by an onslaught of negative evidence. Many biologists now argue that the tree concept is obsolete and needs to be discarded.

[Sebagian besar dari 150 tahun tahun lalu, biologi sebagian besarnya menyibukkan diri dengan mengisi bagian-bagian kecil dari pohon tersebut.... Beberapa tahun lalu kelihatannya tujuan utama itu mudah tercapai. Tapi kini pekerjaan itu berserakan, tercabik-cabik dihajar bukti yang menyangkal. Banyak pakar biologi kini berdalih bahwa gagasan pohon tersebut kuno dan perlu dibuang].

"Sudah sekian lama tujuan utamanya adalah untuk membangun pohon kehidupan ... ...Kita tidak memiliki bukti sama sekali bahwa pohon kehidupan itu adalah sesuatu yang nyata", kata Eric Bapteste, pakar biologi evolusi di Pierre and Marie Curie University, Paris, Perancis.

Artinya, pohon kehidupan, atau lengkapnya pohon silsilah evolusi makhluk hidup rekaan Charles Darwin ternyata sejak awalnya hingga sekarang memang fiktif, khayalan, tanpa didasarkan bukti apa pun alias tidak ada dalam kenyataan. Padahal sejak zaman Darwin hingga sekarang masyarakat luas, terutama siswa dan mahasiswa, selama lebih dari 100 tahun melalui buku-buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi telah dicekkoki dogma khayal tentang pohon evolusi yang ternyata fiktif ini, dan kini dianggap sampah oleh ilmuwan evolusionis sendiri. (bersambung) [wwn/newscientist/telegraph/www.hidayatullah.com]

Bagaimana dengan anda? seperti apa pandangan anda terhadap teori evolusi sekarang ini?

Archaeoastronomy at Stonehenge

Dr. Christopher L. C. E. Witcombe
Professor, Department of Art History, Sweet Briar College, Virginia

Archaeoastronomy at Stonehenge

Already in the 18th century the British antiquarian William Stukeley had noticed that the horseshoe of great trilithons and the horseshoe of 19 bluestones at Stonehenge opened up in the direction of the midsummer sunrise. It was quickly surmised that the monument must have been deliberately oriented and planned so that on midsummer's morning the sun rose directly over the Heel Stone and the first rays shone into the centre of the monument between the open arms of the horseshoe arrangement.

View from the center of Stonehenge towards the Heel Stone,
and a photograph of the sun rising over the Heel Stone

This discovery has had tremendous impact on how Stonehenge has been interpreted. For Stukeley in the 18th century and Sir Norman Lockyer in the first years of the 20th century, this alignment implied a ritualistic connection with sun worship and it was generally concluded that Stonehenge was constructed as a temple to the sun. More recently, though, the astronomer Gerald Hawkins has argued that Stonehenge is not merely aligned with solar and lunar astronomical events, but can be used to predict other events such as eclipses. In other words, Stonehenge was more than a temple, it was an astronomical calculator.

It was argued that the summer solstice alignment cannot be accidental. The sun rises in different directions in different geographical latitudes. For the alignment to be correct, it must have been calculated precisely for Stonehenge's latitude of 51° 11'. The alignment, therefore, must have been fundamental to the design and placement of Stonehenge. As if corroborating the claims made by Hawkins for Stonehenge, Alexander Thom, a professor of engineering and a mathematician, has shown that many other megalithic sites throughout Britain are also oriented towards the sun and the moon.

The alignment also made it clear that whoever built Stonehenge had precise astronomical knowledge of the path of the sun and, moreover, must have known before construction began precisely where the sun rose at dawn on midsummer's morning while standing on the future site of the monument. This point needs to be made because, as I suspect, with Stonehenge and many other such monuments, it was the site, a particular place within the landscape, that was important; only later were these sites marked in some more permanent manner by the digging of ditches and banks and (or instead) the erection of wood or stone structures.

For reasons we shall never know, this particular spot in the landscape was so important that not only were ditches and banks dug and, later, stone circles and horseshoe arrangements constructed to mark it, but that some of the stones were deliberately transported there with considerable effort from a great distance away.

Contrary to expectations, the great stone circles and horseshoe arrangements for which Stonehenge is famous are later additions to the monument (mostly Stonehenge III) and are not essential to the lunar and solar calculations.

Stonehenge: Phase I
(image from Mohen, p. 30)

Today Stonehenge I is barely noticed by visitors. Standing far outside the massed standing stones of Stonehenge III, the remains are comprised of a circular ditch inside of which was erected a bank. The bank is now eroded down to about a foot or so but can still plainly be seen. There is little agreement on how high it was originally. The diameter of the bank is 320 feet and it has at least one major break in it in the northeast, presumably to allow an uninterrupted view in the direction of the Heel Stone and the midsummer sun. At least one other break is a noticeable, and perhaps also a third. It should be noted that the break in the northeast is not quite aligned with the later horseshoe structures; nor is it quite aligned with the causeway beyond, or with the Heel Stone.

The Heel Stone

Inside the bank were dug 56 holes -- discovered by John Aubrey, and known as the Aubrey Holes -- placed at precisely regular intervals around a concentric circle of about 285 feet in diameter. Archaeological investigations have shown that these holes were not dug to hold upright stones or wooden posts. Besides the Aubrey Holes, of crucial importance are the four Station Stones marked at positions 91, 92, 93, and 94, to form a rectangle that stands in a precise relationship with the centre of the monument and with the Heel Stone. Only two of the Station Stones survive, and one of those may not be original.


Plan of Stonehenge with the Aubrey holes, the Heel Stone, and the Station Stones 91, 92, 93, 94 marked
(image from Castleden, p. 30)

For the archaeoastronomists, the Aubrey Holes served as fixed reference points along a circle, and their number was essential to astronomical calculations. The cycle of the moon, for example, which takes 27.3 days, can be tracked by moving a marker by two holes each day to complete a circuit in 28 days.

A much longer calculation is to move the marker by three holes per year to complete a full circuit in 18.67 years. In this way, it is argued, it would be possible to keep track of the nodes, points where the paths of the sun and the moon apparently intersect to produce an eclipse. Because the moon slews around in its path, the two nodes move along the path of the sun, a complete circuit of which takes 18.61 years. By means of the markers in the Aubrey Holes and keeping track of the directions of the sun and the moon, the astronomer at Stonehenge could calculate nodal points ahead of time and thus predict both lunar and solar eclipses.

Whether this was in fact the intended use of the Aubrey Holes is highly debatable. In recent years astronomical interpretations have been taken up in support of more fanciful notions about the cosmic "New Age" significance of Stonehenge and contemporary "secular Druidism" (see Stonehenge and the Druids).

Source: http://witcombe.sbc.edu/earthmysteries/EMStonehengeD.html

Cleopatra's Real Face!

From Elizabeth Taylor to Sophia Loren, there have been many faces of Cleopatra. But this might be the most realistic of them all.

Egyptologist Sally Ann Ashton believes the compute regenerated 3D image is the best likeness of the legendary beauty famed for her ability to beguile.

Cleopatra

Scientists have gathered historical evidence, including a ring bearing her image, to recreate her face.

Dr Sally Anne Ashton, of the Antiquities department at Fitzwilliam museum, Cambridge, worked with digital artists to produce the portrait.

For years, Cleopatra has been "Westernised" showing her with a white skin but Dr Ashton wanted to show her true Egyptian origins.

Dr Ashton has spent over a year trying to find the truest likeness of Cleopatra.

Her key evidence is an artefact showing a young Cleopatra on a ring.

Gold ring used to creat Cleopatra's face curtesy of V&A Museum.JPG

Picture courtesy of the V&A museum

Enlarge Cleopatra

Realism: The result is a strikingly beautiful young woman of mixed ethnicity

Dr Ashton, of Cambridge University, said the images, to be broadcast as part of a Five documentary on Cleopatra, reflect the monarch's Greek heritage as well as her Egyptian upbringing.

'She probably wasn't just completely European. You've got to remember that her family had actually lived in Egypt for 300 years by the time she came to power.'

Cleopatra

Detail: Image of Cleopatra on the temple walls of Dendera

The picture of the queen contrasts with several other less flattering portrayals. For instance, a silver coin which went on show at Newcastle University's Sefton Museum last year showed her as having a shallow forehead, pointed chin, thin lips and hooked nose. Her lover, the Roman general Mark Antony, fared little better.

The reverse side shows him to have bulging eyes and a thick neck. The queen's appearance has long been the subject of debate among academics. While Shakespeare's Antony and Cleopatra made reference to her youthful looks and 'infinite-variety', many believe she was short and frumpy with bad teeth.

Liz Taylor in the 1963 film Cleopatra

Iconic: Liz Taylor in the 1961 film Cleopatra

A statue of Cleopatra exhibited at the British Museum in 2001 portrayed her as plain, no more than 5ft tall and rather plump.

Born in Alexandra in 69BC, into a Macedonian Greek dynasty which had ruled Egypt for three centuries, Cleopatra acceded to the throne at 17. Three years later she seduced Julius Caesar, bearing him a son, Caesarion.

After Caesar was assassinated she courted Mark Antony before committing suicide on his death. Legend has it that she put an asp, a venomous serpent, to her breast.

Cleopatra graphic

Cleopatra graphic

Atlantis Mungkin Berada di Indonesia

Budi Winoto

INILAH.COM, Jakarta - Berkat Google Earth, sebuah peta di dasar laut mirip reruntuhan kota berhasil ditemukan. Pola ini diperkirakan adalah Atlantis, negeri yang pernah jaya ribuan tahun lalu. Tapi ternyata meleset. Mungkin Atlantis ada di Indonesia seperti diperkirakan ilmuwan Brasil.

Pengguna Google Earth yang bisa menelusuri seluruh muka bumi, menemukan sesuatu yang luar biasa. Sebuah pola seperti jalanan kota ditemukan di dasar laut lepas pantai sebelah barat pantai Afrika. Jalanan sepanjang 10 mil ini diyakini sebagai lokasi Atlantis yang menghilang ribuan tahun lalu.

Tapi penemuan itu ternyata mengecewakan banyak orang. Ilmuwan di Google mengatakan bukan Atlantis. Mereka mengatakan pola itu terbentuk karena pantulan dari perangkat yang digunakan. Selain deviasi kedalaman air juga bisa menghasilkan jejak seperti itu.

Google mengatakan pola serupa bisa ditemui di seluruh dasar lautan, termasuk lautan di wilayah Pacifik di sebelah utara Hawaii. Sejak Google Earth memiliki fitur Ocean, jutaan orang mulai mengeksplorasi lautan. Kebanyakan terkejut dengan apa yang berhasil ditemuinya. Seperti di dekat Hawaii ternyata terdapat pulau vulkanis yang disebut Loihi Seamount.

Selain itu juga bisa diketahui terdapat pegunungan di bawah laut di Laut Atlantik dimana patahan tektonik bergeser secara berlawanan, di wilayah Mid-Atlantic Ridge. Jika diamati lebih jauh, pegunungan itu tersambung dengan yang lainnya di seluruh muka bumi dan membentuk panjang hingga 60 ribu kilometer.

Cerita mengenai Atlantis terus menjadi misteri sejak digambarkan filosof Plato lebih dari 2000 tahun lalu. Ia menggambarkan Atlantis sebagai kota yang memiliki kebudayaan tinggi, serta alamnya sangat indah.

Dalam catatannya, Plato menulis Atlantis terhampar di seberang pilar Herkules dan memiliki angkatan laut yang menaklukan Eropa Barat dan Afrika 9000 tahun sebelum waktu Solon, atau sekitar tahun 9500 SM. Setelah gagal menyerang Yunani, Atlantis tenggelam ke dalam samudera hanya dalam waktu satu hari satu malam.

Atlantis umumnya dianggap sebagai mitos yang dibuat Plato untuk mengilustrasikan teori politik. Kisah Atlantis kurang diketahui pada Abad Pertengahan, namun, pada era modern, cerita mengenai Atlantis ditemukan kembali.

Deskripsi Plato menginspirasikan karya-karya penulis zaman Renaissance, seperti New Atlantis karya Francis Bacon. Atlantis juga mempengaruhi literatur modern, dari fiksi ilmiah hingga buku komik dan film. Namanya telah menjadi pameo untuk semua peradaban prasejarah yang maju dan hilang.

Penelitian yang dilakukan oleh Arysio Santos mendapatkan hasil yang mengejutkan. Ia menyebut Atlantis ada di wilayah Indonesia. Ia menuliskan penemuannya itu dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005).

Atlantis adalah sebuah pulau atau benua yang disebut pertama kali oleh Plato pada karya dialognya yang berjudul Timaeus dan Critias pada 360 sebelum Masehi. Dialog Critias mengandung sangat banyak keterangan deskriptif tentang ciri-ciri Atlantis.

Kurator Akeologi sejarah di Universitas New York yang paling banyak mempelajari Atlantis, Charles Orser menyebut penemuan Google Earth itu sangat luar biasa. “Ini pertamakalinya lokasi yang paling kuat mengenai Atlantis seperti digambarkan oleh Plato. Ini layak untuk diteliti lebih jauh,” katanya

Ia menambahkan Atlantis merupakan salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka akan menjadi pencapaian terbesar sepanjang sejarah. Peter Birch, Product Manager Google Earth mengatakan sudah banyak penemuan hebat Google Earth.

Misalnya saja hutan perawan di Mozambique jajaran karang di pantai Australia, serta sisa pemukiman Romawi Kuno. Tapi mengenai peta bawah laut yang diperkirakan sebagai Atlantis adalah salah.

Untuk kasus itu, Birch mengatakan user melihat jejak proses pengumpulan data. Bathymetric (permukaan dasar laut) sering dikumpulkan dari perahu menggunakan sonar untuk mengukur dasar laut. “Garis merefleksikan jalur perahu saat mengumpukan data," katanya. Mungkin Atlantis memang berada di Indonesia seperti diperkirakan oleh Santos. Pada situs webnya atlan.org ia mengungkapkan, pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai ke wilayah timur.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Di antaranya letusan yang paling dahsyat adalah gunung Krakatau.

Santos membandingan, sistem pesawahan yang khas Indonesia, diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Santos melakukan penelitian selama 30 tahun untuk menghasilkan kesimpulannya itu.

Ia mengungkapkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. [E1]